CERPEN

PENYESALAN

Kau tau apa yang paling menyakitkan dari menjalin hubungan dengan seseorang? Pengkhianatan. Ya itu yang kulakukan pada kekasihku sendiri. Betapa brengseknya aku, tetapi dia tetap memberiku kesempatan dan pada akhirnya boom dia memilih meninggalkanku.
Entah sudah keberapa kalinya kutarik udara yang berlalu lalang dihadapanku untuk memenuhi kebutuhan udara di rongga dadaku. Entah sudah berapa kalinya ku hirup udara yang ada disekelilingku tetapi tetap tak dapat memuaskan diriku akan sesak yang sedang melanda dadaku saat ini. Sesuatu yang selalu mengisi ruang hati ini kini telah memilih pergi meninggalkanku sendirian dalam kokosongan dan kehampaan. Dia memilih pergi, berhenti untuk memberikan senyuman tulusnya padaku disaat diri ini merasa kesal dengan hiruk piruk kehidupan dunia. Berhenti untuk mengayunkan langkah bersama dalam suka maupun duka, berhenti menjadi cahaya disetiap keterpurukan dan kegelapanku. Kini aku merasa gelap dan kelam tanpa cahaya itu. Diriku masih sangat merasakan duri yang kutabur sendiri dalam gelap.
Diri bodoh ini terlalu tergoda akan pesona gadis semu yang tentu saja telah puluhan atau ribuan tangan telah menjamah tubuhnya, termasuk tangan bodohku ini. Diri bodoh ini yang dengan lancangnya menyia-nyiakan cinta tulus dari seorang gadis yang cintanya sudah pasti tidak akan pernah habis walau kau selalu menuangkannya ke dalam gelas hampa dan kosong yang kau sebut hati. Dan dengan tanpa rasa bersalah diriku mengingkari dan mengkhianati janji yang ku buat sendiri untuk menyakinkanmu untuk tetap berada di sisiku. Kini janji manis itu telah berubah menjadi racun bagi tuan yang menaburnya. Saat ini aku sedang menggenggam secarik kertas berwarna merah muda dengan ukiran namamu dan pria lain, tangan ini bagaikan menggenggam sebilah pisau yang tengah menggores indah di dadaku.
Pagi ini hari bahagia untuknya, tentu saja tidak denganku. Dengan wajah dan badanku yang tak terurus ini aku menyakinkan diri untuk datang dihari bahagianya, tentu saja itu karena keinginanmu dan aku tak menyia-nyiakannya karena aku ingin melihat wajah malaikat pengisi hatiku. Ku pilih kemeja putih dan jas hitam serta celana bahan berwarna hitam disertai senyum miris dengan mantap melangkah menuju sebuah gedung resepsi yang sedang berbahagia. Aku tak bisa melupakannya, apalagi keinginannya seperti saat dia memberiku undangan pernikahannya.
“Hai, bisa kita bertemu? Sudah lama kita tidak bertemu dan menanyakan kabar.”
Betapa bahagianya diriku, mendapat pesan darinya setelah beberapa bulan setelah dia memutuskan hubungan denganku.
“Bisa, kita bisa bertemu di kafe langganan kita dulu.”
“Besok, pukul 3. Ada yang ingin kusampaikan. Sampai jumpa!”
            Aku datang lebih awal, aku memilih tempat duduk di dekat jendela supaya aku bisa memandangnya saat dia datang sambil memandang hilir mudiknya kendaraan dan indahnya kota yang sedang diselimuti awan. Aku begitu menyukai suasana seperti ini berawan tanpa hujan. Sebuah taksi berhenti tepat diseberang jalan, dia masih begitu indah dan menawan, langkahnya yang anggun saat melewati zebra cross dan saat dia membuka pintu kafe yang diiringi dengan bunyi lonceng yang sengaja dipasang pemilik kafe di belakang pintu masuk. Segera kulambaikan tanganku, dan dia menoleh. Dia duduk didepanku. Kami mengobrol ringan hingga pesanan kami datang. Sama dan tidak berubah sedikitpun, dia memesan satu cup besar ice cream vanilla yang ditaburi dengan coklat dan parutan keju dan satu porsi waffle coklat. Dia masih menggilai ice cream dan coklat tapi tidak dengan menggilai diriku seperti dulu.
“Ada yang ingin kusampaikan padamu mas.”
“Ya, apa itu? Katakana saja.”
Hatiku membuncah membayangkan apa yang akan dia sampaikan, apakah dia menyesal memutuskanku dan memintaku kembali menjadi kekasihnya?
“Aku akan menikah, minggu depan. Dengan laki-laki pilihan orangtuaku.”
Bagaikan teriris pisau dadaku ini terasa perih dan sakit mendengar apa yang dia katakan.
“Kenapa secepat ini? Apa kau sudah mengenalnya? Lalu bagaimana denganku? Tidak, kau harusnya menikah denganku bukan dengan orang lain.”
“Selama beberapa minggu ini aku dan dia sering berjumpa, kami saling mencocokkan satu sama lain, dia begitu baik dan memperlakukanku seolah aku barang mahal yang tak boleh tergores sedikitpun. Dia mencintaiku sangat, dan aku percaya dengan apa pilihan orangtuaku. Bukankah tidak ada orangtua yang ingin menjatuhkan anaknya?” Sejenak dia menarik nafas panjang.
“Bukankah seharusnya kau baik-baik saja dengan wanita pilihanmu itu? Kau bisa menikah dengannya mas.” Lanjutnya.
“Tidak, bagaimana mungkin aku menjalin hubungan dengan wanita jalang seperti itu? Aku hanya ingin menikah denganmu. Kau harusnya ingat janji yang kita buat dulu saat kita beranjak remaja.”
“Wanita jalang mana yang kau maksud? Aku bahkan tak ingat berapa kali wanita berbeda itu menelponku untuk menjemputmu. Janji? Hah, aku mengingatnya bahkan selalu tapi kau yang menghancurkannya dengan perbuatanmu sendiri. Aku lelah dengan apa yang kau lakukan. Aku bukan wanita yang kuat seperti wonder women di karangan fiksi yang kau baca. Aku bisa tumbang jika pengorbanan yang aku lakukan kau acuhkan dan kesempatan yang kuberikan kau sia-siakan. Sudah cukup aku mencintaimu mas.” Katanya sambil mengusap air mata yang menggenang di pelupuk matanya.
“Aku minta maaf, bisakah kau memberiku satu kesempatan lagi? Aku berjanji akan membuat semuanya lebih baik. Ku mohon.” Ujarku memelas.
“Aku sudah lama memaafkanmu mas, tapi untuk memberimu kesempatan lagi aku tidak bisa. Aku sudah memilihnya untuk menjadi suamiku. Kau dan aku harus bahagia. Kita mungkin tak berjodoh. Aku tak mau melihatmu berantakan seperti ini, carilah kebahagiaanmu mas.” Katanya tulus.
Dia menyodorkan secarik kertas merah muda yang tergulung rapi dengan ditarik oleh seuntai pita merah tua.
“Aku harap kau bisa datang di hari bahagiaku. Itu permintaan terakhirku, aku permisi.”
            Dan disinilah aku sekarang di sebuah gedung resepsi yang sedang berbahagia, aku melihatnya begitu cantik memakai kebaya berwarna putih tulang dan rambut panjangnya yang disanggul sederhana dihias bunga yang menambah aksen menawan dan mewah pada wajahnya. Dia bidadariku dulu bahkan sekarang posisi itu tetap diisi olehnya. Pikiran jahat sempat melintas di otakku dengan membawa kabur mempelai wanitanya, gadisku bidadari pengisi hatiku. Tapi aku tidak tega melakukannya saat melihat tawa bahagia yang tersungging di wajah cantiknya, dia pantas mendapatkan kebahagiaan. Walau tidak denganku, laki-laki brengsek dan bodoh yang telah menyia-nyiakan wanita dengan hati yang begitu laki-laki lain ingin memilikinya. Sudah cukup puas aku memandang tawa bahagianya, aku tidak bisa membayangkan apa yang akan aku lakukan jika harus berlama-lama disini.
            Kembali aku menuju tempat ini, bau minuman beralkohol seketika menyeruak dihidung. Tentu saja aku memesannya berharap semua kesakitan ini bisa menghilang dan berlalu. Aku menyalahkan Tuhan, kenapa aku tak diberjodohkan dengannya?
“Orang bilang Kau tidak akan memberikan cobaan yang umatmu tak bisa melaluinya. Bohong mereka semua bohong nyatanya aku tidak bisa hidup tanpanya. Apa aku harus menemuiMu agar aku mendengar penjelasanMu? AlasanMu?” Erangku.
Lalu alasan apalagi yang membuatku untuk tetap hidup? Sekarang dia sudah menjadi milik orang lain karena kebodohanku sendiri hanyut dengan permainan yang Kau sebut dengan ujian atau mungkin takdir? Haha Jika aku tidak bisa memilikinya buat apa aku hidup? Dia menginginkanku bahagia? Bagaimana mungkin aku bahagia kalau hanya dialah candu yang akan selalu menjadi candu di pikiranku. Apa ini balasan atas tindakan brengsekku? Baiklah aku akan menebus semuanya, aku tidak bisa hidup tanpa dia disisiku. Tanpa sadar ku ambil pisau buah dia atas meja dan kuarahkan ke pergelangan tanganku. Jika aku tidak bisa memilikimu, lebih baik aku mati dan aku akan menebus semua kesalahanku padamu. Aku mencintaimu Rania.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Media Gambar Berseri

Media Pembelajaran Bahasa Indonesia